Teori Ilmu Pengetahuan Menurut Islam
BAB I
PENDAHULUAN
Antara filsafat dengan ilmu keduanya saling
keterkaitan. Lalu apa hubungan antara keduanya. Ilmu merupakan kumpulan
pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri ilmu memiliki jawaban
dari tiga pertanyaan. Pertama, apakah yang ingin diketahui. Kedua, Bagaimana
cara mendapatkan pengetahuan. Dan ketiga, untuk apa nilai pengetahuan tersebut
bagi kita.
Sedangkan filsafat mempelajari masalah tersebut sedalam-dalamnya dan hasil
kajiannya merupakan dasar dari eksperimen ilmu. Tiga pertanyaan mendasar di
atas, Ontologi menjadi jawaban tentang apa yang ingin diketahui, sejauh mana ia
ingin tahu, atau dengan kata lain Ontologi mengkaji teori tentang ”Ada”. Lalu
bagaimana cara mendapatkan pengetahuan, jawabannya kembali kepada Epistimologi,
yakni teori pengetahuan, dan untuk menjawab kegunaan nilai pengetahuan,
jawabannya kembali kepada axiologi, yakni teori tentang nilai. Dan Filsafat
dalam menganalisa tiga landasan tersebut akan membawa kepada hakekat buah
pemikiran.
Ilmu pengetahuan (science)
mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengetahuan (knowledge) atau
dapat juga disebut akal sehat (common sense). Orang awam tidak memahami
atau tidak menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu berbeda dengan pengetahuan.
Bahkan mungkin mereka menyamakan dua pengertian tersebut. Fenomena seperti itu
baru terjadi pada abad modern. Karena sampai abad pertengahan, pengetahuan
belum dibeda-bedakan ke dalam dua istilah di atas. Istilah pengetahuan (knowledge)
masih mencakup semua jenis ilmu pengetahuan. Baru ketika memasuki abad modern
yang ditandai dengan positivisme, maka
pengetahuan yang terukur secara empiris dikhususkan dengan penyebutan scientific
knowledge atau science saja.
Sedangkan Pengetahuan menurut Heidegger dalam Epistimologi Filsafat
Pengetahuan adalah a-letheia. Artinya, pengetahuan adalah pernyataan
diri ada. Sementara itu Protasius Hardono Hadi sendiri memahami pengetahuan
sebagai peristiwa yang menyebabkan kesadaran manusia memasuki terang ada. Segala
sesuatu yang diketahui oleh manusia disebut pengetahuan. Oleh karena itu bila
pengetahuan diperoleh melalui indra manusia, disebut pengetahuan indra, bila
diperoleh melalui metode dan sistem tertentu dan bersifat universal disebut
pengetahuan ilmiah, dan bila pengetahuan itu diperoleh melalui dengan
perenungan yang sedalam-dalamnya (kontemplasi) sampai kepada hakekatnya disebut
dengan pengetahuan filsafat.
Mempelajari apa itu ilmu pengetahuan, itu
berarti mempelajari atau membahas esensi atau hakekat ilmu pengetahuan.
Demikian pula membahas pengetahuan itu juga berarti membahas hakekat
pengetahuan. Untuk itu kita perlu memahami
Filsafat Ilmu Pengetahuan. Dengan mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan
di samping akan diketahui hakekat ilmu pengetahuan dan hakekat pengetahuan,
kita tidak akan terbenam dalam suatu ilmu yang spesifik sehingga makin
menyempit dan eksklusif (terpisah). Dengan mempelajari filsafat ilmu
pengetahuan akan membuka perspektif (wawasan) yang luas, sehingga kita dapat
menghargai ilmu-ilmu lain, dapat berkomunikasi dengan ilmu-ilmu lain. Dengan
demikian kita dapat mengembangkan ilmu pengetahuan secara interdisipliner
(antar cabang ilmu pengetahuan).
Perintisan “Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada abad 4 sebelum
Masehi, karena peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu pengetahuan
diketemukan mulai abad 4 sebelum Masehi. Abad 4 sebelum Masehi merupakan abad terjadinya
pergeseran dari persepsi mitos ke persepsi logos, dari dongeng-dongeng ke
analisis rasional. Pada abad ini para pemikir sudah mulai merintis ilmu
pengetahuan walaupun masih sederhana, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Mereka ini disebut filosof Pra-Socrates. Contoh persepsi mitos adalah pandangan yang
beranggapan bahwa kejadian-kejadian misalnya adanya penyakit atau gempa bumi
disebabkan perbuatan dewa-dewa. Jadi pandangan tersebut tidak bersifat
rasional, sebaliknya persepsi logos adalah pandangan yang bersifat rasional.
Dalam persepsi mitos, dunia atau kosmos dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan
magis, mistis. Atau dengan kata lain, dunia dikendalikan oleh faktor-faktor
luar (eksternal). Sedang dalam persepsi rasional, dunia dianalisis dari
faktor-faktor dalam (internal). Atau dengan kata lain, dunia dianalisis dengan
argumentasi yang dapat diterima secara rasional atau akal sehat. Analisis
rasional ini merupakan perintisan analisis secara ilmiah, tetapi belum dapat
dikatakan ilmiah.
Betapun klasiknya pandangan filosof
Pra-Socrates untuk zaman kini, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka telah
memberikan sumbangan bagi upaya perintisan pemikiran filsafat dan ilmu
pengetahuan.
Pada periode ini tokoh yang terkenal adalah Aristoteles. Persepsi Aristoteles
tentang dunia adalah sebagai berikut : dunia adalah ontologis atau ”ada”
(eksis). Sebelum Aristoteles dunia dipersepsikan tidak eksis, dunia hanya
menumpang keberadaan dewa-dewa. Dunia bukan dunia riil, yang riil adalah dunia
ide. Menurut Aristoteles, dunia merupakan substansi, dan ada hirarki
substansi-substansi. Substansi adalah sesuatu yang mandiri, dengan demikian
dunia itu mandiri.
Pandangan Aristoteles yang dapat dikatakan
sebagai awal dari perintisan “ilmu pengetahuan” adalah hal-hal yang berkenaan dengan pengenalan, yang meliputi pengenalan inderawi; yang
memberi pengetahuan tentang hal-hal yang kongkrit dari suatu benda, pengenalan
rasional, yang dapat mencapai hakekat sesuatu melalui jalan abstraksi. Untuk
itu Aristoteles melihat benda terdapat bentuk dan materi, tetapi bentuk dan
materi yang dimaksud bukanlah yang bisa dilihat oleh mata melainkan bentuk dan
materi yang bersifat metafisis. Menurutnya materi pertama itu hanya kemungkinan
saja untuk menerima suatu bentuk, dan dengan materi tersebut bisa berubah
menjadi bentuk yang lain. Dan pada kenyataannya materi pertama mempunyai salah
satu bentuk. Bentuk adalah prinsip yang menentukan. Karena materi pertama
merupakan suatu benda kongkret, dan dengan bentuknya benda kongkrit tersebut
memiliki kodrat tertentu, akibatnya ia dapat dikenal oleh rasio. Dengan
demikian Aristoteles memahami bahwa pengetahuan itu dimungkinkan atas dasar bentuk benda kongkret. Hal Metode, menurut Aristoteles, “ilmu
pengetahuan” adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau hukum-hukum bukan
objek-objek eksternal atau fakta. Penggunaan prinsip atau hukum berarti
berargumentasi (reasonning). Menurut Aristoteles, mengembangkan “ilmu
pengetahuan” berarti mengembangkan prinsip-prinsip, mengembangkan “ilmu
pengetahuan” (teori) tidak terletak pada akumulasi data tetapi peningkatan
kualitas teori dan metode. Aristoteles menamakan metafisika
sebagai "kebijaksanaan". Karena itu ilmu pengetahuan selalu mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab. Karena kebijaksanaan merupakan ilmu
yang tertinggi, maka ilmu ini akan mencari prinsip-prinsip yang paling
fundamental.
Mulyadhi Kartanegara, mengatakan bahwa salah jika ada orang yang
berasumsi ilmu itu bebas nilai. Ilmu di setiap peradaban selalu mengalami
naturalisasi. Seperti yang terjadi pada masa kejayaan Yunani, di mana ilmu dan
filsafat mengalami helenisasi (peng-Yunani-an), lalu Kristenisasi pada masa
Romawi, Islamisasi pada masa-masa kejayaan umat Islam, dan kemudian
westernisasi setelah masa Renaisans.
Sebagai pembuktiannya, kenapa para ilmuwan besar seperti Laplace, Darwin, dan
Freud, dengan pengetahuan mereka yang mendalam tentang fenomena alam, justru
menolak keberadaan Tuhan. Padahal menurut pengalaman Mulyadhi,
penemuan-penemuan ilmiah tersebut justru memperkuat keyakinan akan keberadaan
dan kebijaksanaan Tuhan.
Seiring perjalanan waktu ilmu pengetahuan terus berkembang dari
masa ke masa. Ilmu pengetahuan dianggap sudah ada mulai abad ke 4 sebelum
Masehi. Mulai abad tersebut perjalanan ilmu pengetahuan senantiasa melekat pada
masa di mana ia berada dan sering disandarkan pada masa yang menguasai kejayaan
saat itu.
Pembahasan penulis dalam judul makalah ”Teori Ilmu Pengetahuan Menurut Islam” ini akan difokuskan pada pembahasan Konsep Ilmu Tentang Pengetahuan, Desekralisasi Pengetahuan, Sifat-sifat
Dasar Pengetahuan, dan Sumber Pengetahuan Dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Ilmu Tentang Pengetahuan
B. Desakralisasi Pengetahuan
C. Sifat-sifat Dasar Pengetahuan
D.
Sumber
Pengetahuan Dalam Islam
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang
mempunyai ciri-ciri tertentu. peninggalan-peninggalan
yang menggambarkan ilmu pengetahuan diketemukan mulai abad 4 sebelum Masehi. Para pemikir sudah mulai merintis ilmu
pengetahuan walaupun masih sederhana, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Mereka ini disebut filosof Pra-Socrates. Ilmu di setiap
peradaban selalu mengalami naturalisasi. Ilmu bisa mengalami helenisasi
(peng-Yunani-an), Kristenisasi, dan Islamisasi
Pembentukan konsep
selalu terkait dengan empat komponen, yaitu, kenyataan (reality), teori
(theori), kata-kata (words), dan pemikiran (thought).
Konsep Ilmu Tentang Pengetahuan terdapat beberapa perbedaan, ada yang
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan itu bersifat netral seperti dalam konsep netralitas
etik, dan ada yang tidak netral seperti ilmu yang terpengaruh oleh masa
yang dominan pada saat itu.
Desakralisasi pengetahuan berarti proses menghilangkan kesakralan atau
sifat yang suci, berarti juga memotong akar
pengetahuan. Islam tidak memberikan makna sakral kepada alam
dan seisinya, langit, bumi, bintang, gunung, sungai, pohon, batu, lautan, dan
semua yang ada di alam semesta ini. Islam melihat semua itu sebagai ciptaan
Tuhan, yang harus diungkapkan, diselidiki, dan dimanfaatkan untuk kepentingan
manusia.
Ilmu pengetahuan bersifat penalaran
yang mendasar, karena penalaran merupakan suatu proses berfikir dalam menarik
sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Penalaran merupakan kegiatan
berfikir yang mempunyai kriteria tertentu dalam menemukan kebenaran. Ciri umum
ilmu pengetahuan yaitu bersifat Rasional, Empiris, dan Sementara. Suatu
pengetahuan bisa dikatakan ilmu, mana kala memenuhi syarat-syarat seperti memiliki dasar pembenaran, sifat sistematis,
dan sifat intersubjektif.
Ada beberapa
pendapat mengenai sumber asal ilmu pengetahuan yaitu bersumber melalui empirisme, rasionalisme, intuisi, dan wahyu. Dalam Islam
sumber pengetahuan untuk membantu rasio menemukan kebenaran, ada dua, Pertama
akal dan ke dua wahyu. Keduanya tidak boleh bertentangan. Pemahaman para ulama terhadap sumber pengetahuan dalam Islam sama.
Tidak ada pemilahan di antara mereka antara yang logis, empiris, dan intuitif.
Semuanya diakui asalkan berdasar pada dalil-dalil yang kuat. Baik itu yang revelational/wahyu
(naqlî), rasional (‘aqlî), empirikal (hissî),
ataupun intuitif (dzauqi).
B. Penutup
Demikian uraian makalah tentang teori ilmu pengetahuan menurut
Islam yang bisa penulis sajikan. Kekurang sulit dihindarkan lantaran
keterbatasan kemampuan, dengan demikian mudah-mudahan pembaca berkenan memberi masukan
demi sempurnanya tulisan ini untuk menambah wawasan penulis dan orang-orang
yang kemudian. Akhirnya Penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih atas
sumbangsih dan saran yang diberikan.
Wassalam
Penulis
H. Miftahul Huda
perlu bantuan hubungi : miftah_huda@yahoo.co.id
Kees Bertens, Sejarah filsafat
Yunani: dari Thales ke Aristoteles, Yokyakarta : Kanesius, 2011, hal. 186
Dalam Kamus
Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, hal. 1290
yang dimaksud Renaisans masa peralihan dari abad pertengahan ke abad modern di
Eropa (abad ke14 sampai ke-17) yg ditandai oleh perhatian kembali pada
kesusastraan klasik, berkembangnya kesenian, dan kesusastraan baru serta
tumbuhnya ilmu pengetahuan modern