Senin, 15 Desember 2014

Teori Ilmu Pengetahuan Menurut Islam

Teori Ilmu Pengetahuan Menurut Islam
BAB I
PENDAHULUAN

Antara filsafat dengan ilmu keduanya saling keterkaitan. Lalu apa hubungan antara keduanya. Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri ilmu memiliki jawaban dari tiga pertanyaan. Pertama, apakah yang ingin diketahui. Kedua, Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan. Dan ketiga, untuk apa nilai pengetahuan tersebut bagi kita.[1] Sedangkan filsafat mempelajari masalah tersebut sedalam-dalamnya dan hasil kajiannya merupakan dasar dari eksperimen ilmu. Tiga pertanyaan mendasar di atas, Ontologi menjadi jawaban tentang apa yang ingin diketahui, sejauh mana ia ingin tahu, atau dengan kata lain Ontologi mengkaji teori tentang ”Ada”. Lalu bagaimana cara mendapatkan pengetahuan, jawabannya kembali kepada Epistimologi, yakni teori pengetahuan, dan untuk menjawab kegunaan nilai pengetahuan, jawabannya kembali kepada axiologi, yakni teori tentang nilai. Dan Filsafat dalam menganalisa tiga landasan tersebut akan membawa kepada hakekat buah pemikiran.[2]

1
Ilmu pengetahuan (science) mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengetahuan (knowledge) atau dapat juga disebut akal sehat (common sense). Orang awam tidak memahami atau tidak menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu berbeda dengan pengetahuan. Bahkan mungkin mereka menyamakan dua pengertian tersebut. Fenomena seperti itu baru terjadi pada abad modern. Karena sampai abad pertengahan, pengetahuan belum dibeda-bedakan ke dalam dua istilah di atas. Istilah pengetahuan (knowledge) masih mencakup semua jenis ilmu pengetahuan. Baru ketika memasuki abad modern yang ditandai dengan positivisme,[3] maka pengetahuan yang terukur secara empiris dikhususkan dengan penyebutan scientific knowledge atau science saja.[4] Sedangkan Pengetahuan menurut Heidegger dalam Epistimologi Filsafat Pengetahuan adalah a-letheia. Artinya, pengetahuan adalah pernyataan diri ada. Sementara itu Protasius Hardono Hadi sendiri memahami pengetahuan sebagai peristiwa yang menyebabkan kesadaran manusia memasuki terang ada.[5] Segala sesuatu yang diketahui oleh manusia disebut pengetahuan. Oleh karena itu bila pengetahuan diperoleh melalui indra manusia, disebut pengetahuan indra, bila diperoleh melalui metode dan sistem tertentu dan bersifat universal disebut pengetahuan ilmiah, dan bila pengetahuan itu diperoleh melalui dengan perenungan yang sedalam-dalamnya (kontemplasi) sampai kepada hakekatnya disebut dengan pengetahuan filsafat.[6]
Mempelajari apa itu ilmu pengetahuan, itu berarti mempelajari atau membahas esensi atau hakekat ilmu pengetahuan. Demikian pula membahas pengetahuan itu juga berarti membahas hakekat pengetahuan. Untuk itu kita perlu memahami  Filsafat Ilmu Pengetahuan. Dengan mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan di samping akan diketahui hakekat ilmu pengetahuan dan hakekat pengetahuan, kita tidak akan terbenam dalam suatu ilmu yang spesifik sehingga makin menyempit dan eksklusif (terpisah). Dengan mempelajari filsafat ilmu pengetahuan akan membuka perspektif (wawasan) yang luas, sehingga kita dapat menghargai ilmu-ilmu lain, dapat berkomunikasi dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian kita dapat mengembangkan ilmu pengetahuan secara interdisipliner (antar cabang ilmu pengetahuan).
Perintisan “Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada abad 4 sebelum Masehi, karena peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu pengetahuan diketemukan mulai abad 4 sebelum Masehi. Abad 4 sebelum Masehi merupakan abad terjadinya pergeseran dari persepsi mitos ke persepsi logos, dari dongeng-dongeng ke analisis rasional. Pada abad ini para pemikir sudah mulai merintis ilmu pengetahuan walaupun masih sederhana, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka ini disebut filosof Pra-Socrates.[7]  Contoh persepsi mitos adalah pandangan yang beranggapan bahwa kejadian-kejadian misalnya adanya penyakit atau gempa bumi disebabkan perbuatan dewa-dewa. Jadi pandangan tersebut tidak bersifat rasional, sebaliknya persepsi logos adalah pandangan yang bersifat rasional. Dalam persepsi mitos, dunia atau kosmos dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan magis, mistis. Atau dengan kata lain, dunia dikendalikan oleh faktor-faktor luar (eksternal). Sedang dalam persepsi rasional, dunia dianalisis dari faktor-faktor dalam (internal). Atau dengan kata lain, dunia dianalisis dengan argumentasi yang dapat diterima secara rasional atau akal sehat. Analisis rasional ini merupakan perintisan analisis secara ilmiah, tetapi belum dapat dikatakan ilmiah.
Betapun klasiknya pandangan filosof Pra-Socrates untuk zaman kini, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka telah memberikan sumbangan bagi upaya perintisan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan.[8] Pada periode ini tokoh yang terkenal adalah Aristoteles. Persepsi Aristoteles tentang dunia adalah sebagai berikut : dunia adalah ontologis atau ”ada” (eksis). Sebelum Aristoteles dunia dipersepsikan tidak eksis, dunia hanya menumpang keberadaan dewa-dewa. Dunia bukan dunia riil, yang riil adalah dunia ide. Menurut Aristoteles, dunia merupakan substansi, dan ada hirarki substansi-substansi. Substansi adalah sesuatu yang mandiri, dengan demikian dunia itu mandiri.[9]
Pandangan Aristoteles yang dapat dikatakan sebagai awal dari perintisan “ilmu pengetahuan” adalah hal-hal yang berkenaan dengan pengenalan, yang meliputi pengenalan inderawi; yang memberi pengetahuan tentang hal-hal yang kongkrit dari suatu benda, pengenalan rasional, yang dapat mencapai hakekat sesuatu melalui jalan abstraksi. Untuk itu Aristoteles melihat benda terdapat bentuk dan materi, tetapi bentuk dan materi yang dimaksud bukanlah yang bisa dilihat oleh mata melainkan bentuk dan materi yang bersifat metafisis. Menurutnya materi pertama itu hanya kemungkinan saja untuk menerima suatu bentuk, dan dengan materi tersebut bisa berubah menjadi bentuk yang lain. Dan pada kenyataannya materi pertama mempunyai salah satu bentuk. Bentuk adalah prinsip yang menentukan. Karena materi pertama merupakan suatu benda kongkret, dan dengan bentuknya benda kongkrit tersebut memiliki kodrat tertentu, akibatnya ia dapat dikenal oleh rasio. Dengan demikian Aristoteles memahami bahwa pengetahuan itu dimungkinkan  atas dasar bentuk benda kongkret.[10]  Hal Metode, menurut Aristoteles, “ilmu pengetahuan” adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau hukum-hukum bukan objek-objek eksternal atau fakta. Penggunaan prinsip atau hukum berarti berargumentasi (reasonning). Menurut Aristoteles, mengembangkan “ilmu pengetahuan” berarti mengembangkan prinsip-prinsip, mengembangkan “ilmu pengetahuan” (teori) tidak terletak pada akumulasi data tetapi peningkatan kualitas teori dan metode. Aristoteles menamakan metafisika sebagai "kebijaksanaan". Karena itu ilmu pengetahuan selalu mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab. Karena kebijaksanaan merupakan ilmu yang tertinggi, maka ilmu ini akan mencari prinsip-prinsip yang paling fundamental.[11]
Mulyadhi Kartanegara, mengatakan bahwa salah jika ada orang yang berasumsi ilmu itu bebas nilai. Ilmu di setiap peradaban selalu mengalami naturalisasi. Seperti yang terjadi pada masa kejayaan Yunani, di mana ilmu dan filsafat mengalami helenisasi (peng-Yunani-an), lalu Kristenisasi pada masa Romawi, Islamisasi pada masa-masa kejayaan umat Islam, dan kemudian westernisasi setelah masa Renaisans.[12] Sebagai pembuktiannya, kenapa para ilmuwan besar seperti Laplace, Darwin, dan Freud, dengan pengetahuan mereka yang mendalam tentang fenomena alam, justru menolak keberadaan Tuhan. Padahal menurut pengalaman Mulyadhi, penemuan-penemuan ilmiah tersebut justru memperkuat keyakinan akan keberadaan dan kebijaksanaan Tuhan.[13]
Seiring perjalanan waktu ilmu pengetahuan terus berkembang dari masa ke masa. Ilmu pengetahuan dianggap sudah ada mulai abad ke 4 sebelum Masehi. Mulai abad tersebut perjalanan ilmu pengetahuan senantiasa melekat pada masa di mana ia berada dan sering disandarkan pada masa yang menguasai kejayaan saat itu.
Pembahasan penulis dalam judul makalah ”Teori Ilmu Pengetahuan Menurut Islam”  ini akan difokuskan pada pembahasan Konsep Ilmu Tentang Pengetahuan, Desekralisasi Pengetahuan, Sifat-sifat Dasar Pengetahuan, dan Sumber Pengetahuan Dalam Islam.



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Konsep Ilmu Tentang Pengetahuan
B.      Desakralisasi Pengetahuan
C.      Sifat-sifat Dasar Pengetahuan
D.      Sumber Pengetahuan Dalam Islam
                                       BAB III                                       
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu pengetahuan diketemukan mulai abad 4 sebelum Masehi. Para pemikir sudah mulai merintis ilmu pengetahuan walaupun masih sederhana, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka ini disebut filosof Pra-Socrates. Ilmu di setiap peradaban selalu mengalami naturalisasi. Ilmu bisa mengalami helenisasi (peng-Yunani-an), Kristenisasi, dan Islamisasi
Pembentukan konsep selalu terkait dengan empat komponen, yaitu, kenyataan (reality), teori (theori), kata-kata (words), dan pemikiran (thought). Konsep Ilmu Tentang Pengetahuan terdapat beberapa perbedaan, ada yang berpendapat bahwa ilmu pengetahuan itu bersifat netral seperti dalam konsep netralitas etik, dan ada yang tidak netral seperti ilmu yang terpengaruh oleh masa yang dominan pada saat itu.
Desakralisasi pengetahuan berarti proses menghilangkan kesakralan atau sifat yang suci, berarti juga memotong akar pengetahuan. Islam tidak memberikan makna sakral kepada alam dan seisinya, langit, bumi, bintang, gunung, sungai, pohon, batu, lautan, dan semua yang ada di alam semesta ini. Islam melihat semua itu sebagai ciptaan Tuhan, yang harus diungkapkan, diselidiki, dan dimanfaatkan untuk kepentingan manusia.

   33
Ilmu pengetahuan bersifat penalaran yang mendasar, karena penalaran merupakan suatu proses berfikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Penalaran merupakan kegiatan berfikir yang mempunyai kriteria tertentu dalam menemukan kebenaran. Ciri umum ilmu pengetahuan yaitu bersifat Rasional, Empiris, dan Sementara. Suatu pengetahuan bisa dikatakan ilmu, mana kala memenuhi syarat-syarat seperti  memiliki dasar pembenaran, sifat sistematis, dan sifat intersubjektif.
Ada beberapa pendapat mengenai sumber asal ilmu pengetahuan yaitu bersumber  melalui empirisme,  rasionalisme, intuisi, dan wahyu. Dalam Islam sumber pengetahuan untuk membantu rasio menemukan kebenaran, ada dua, Pertama akal dan ke dua wahyu. Keduanya tidak boleh bertentangan. Pemahaman para ulama terhadap sumber pengetahuan dalam Islam sama. Tidak ada pemilahan di antara mereka antara yang logis, empiris, dan intuitif. Semuanya diakui asalkan berdasar pada dalil-dalil yang kuat. Baik itu yang revelational/wahyu (naqlî), rasional (‘aqlî), empirikal (hissî), ataupun intuitif (dzauqi).

B.      Penutup
Demikian uraian makalah tentang teori ilmu pengetahuan menurut Islam yang bisa penulis sajikan. Kekurang sulit dihindarkan lantaran keterbatasan kemampuan, dengan demikian mudah-mudahan pembaca berkenan memberi masukan demi sempurnanya tulisan ini untuk menambah wawasan penulis dan orang-orang yang kemudian. Akhirnya Penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih atas sumbangsih dan saran yang diberikan.

Wassalam
Penulis


H. Miftahul Huda
perlu bantuan hubungi : miftah_huda@yahoo.co.id


[1] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal. 2
[2] Ibid, hal. 5
[3] Aliran positivisme didirikan oleh Auguste Comte (1798-1957) dan ia yang memunculkan istilah positifisme.  Aliran ini berusaha menciptakan metode analisis struktur logis pengetahuan yang berdasarkan kontradeksi  antara materialisme dan idealisme. Salah satu prinsip utamanya adalah kecenderungan fenomenologi ekstrim  yang menganggap bahwa fungsi pengetahuan adalah penggambaran murni  realitas bukan mempersepsikannya. Lih. Nawal Al Sa’dawi, Perempuan, Agama, dan Moralitas, Jakarta : Erlangga, 2004, hal. 220.
[4] Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Philosophical Instruction to Contemporary Islam Philoshophy, terj. Musa Kazhim dan Saleh Bagir, Bandung : Mizan, 2003, hal. 24
[5] P. Hardono Hadi, Epistimologi : Filsafat Pengetahuan,Yokyakarta : Kanisius, 2005, hal. 25
[6] Darji Darmodiharjo, Pokok-pokok filsafat hukum : apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006, hal. 1.
[7] Jostein Gaarder, Dunia Sophie Sebuah Novel Filsafat, terj. Rahmani Astuti, Bandung : Mizan, 2006, hal. 79.
[8] Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl mark, Yokyakarta : LkiS Printing Cemerlang, 2009, hal. 94
[9] Hardono Hadi, Potret : Siapakah Aku?, Yokyakarta : Kanisius, 2010, hal. 66
[10] Kees Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yokyakarta : Kanesius, 2011, hal. 15
[11] Kees Bertens, Sejarah filsafat Yunani: dari Thales ke Aristoteles, Yokyakarta : Kanesius, 2011, hal. 186
[12] Dalam Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, hal. 1290 yang dimaksud Renaisans masa peralihan dari abad pertengahan ke abad modern di Eropa (abad ke14 sampai ke-17) yg ditandai oleh perhatian kembali pada kesusastraan klasik, berkembangnya kesenian, dan kesusastraan baru serta tumbuhnya ilmu pengetahuan modern
[13] Mulyadhi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam, Bandung :  Arasy Mizan Pustaka, 2002, hal. 85-86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar